Curug Jompong

Tempat satu ini sempat ramai diperbincangkan sebagai penyebab terjadinya banjir di Sungai Citarum, Bandung, Jawa Barat. Curug yang mengalirkan air Sungai Citarum ini dulu merupakan tempat wisata yang favorit di zaman kolonial Hindia Belanda. Namun sekarang tidak sedikit orang yang malah berbalik mencemooh curug yang dianggap sebagai pembawa malapetaka tersebut. Pasalnya aliran air yang deras dan meluap dianggap berasal dari Curug Jompong.

Curug Jompong Tempo Dulu

Wisata Curug Jompong

Tercatat pada buku panduan wisata yang terbit pada tahun 1927 menyatakan bahwa Curug Jompong merupakan tempat wisata yang seringkali dikunjungi warga Belanda untuk berlibur. Buku tersebut berjudul Gids van Bandoeng en Midden-Priangan yang dituli oleh S.A Reitsma dan W. H. Hoogland.

Curug yang terletak di Jalan Terusan Nanjung, Desa Jelegong, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung ini pada tahun 1930 merupakan bagian hilir dari Sungai Citarum yang dijadikan lokasi objek wisata oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Di buku-buku kebumian asing, Pada tahun 1936, Van Bemmelen, pakar geologi yang menyusun buku The Geology of Indonesia menuliskan peta bahwa tempat pertemuan Cimahi dan Citarum berada di wilayah sekitar Curug Jompong. Di Curug Jompong Pakar Geologi Van Bemmelen juga menemukan batu garnet, yaitu batu mulia yang ukurannya sebesar biji delima.

Alasan mengapa dijadikan wisata oleh Pemerintah Hindia Belanda karena Curug jompong dalam rangkaian sejarah bumi di Bandung merupakan situs bumi atau laboratorium dan monumen alami kebumian. Selain sebagai tempat wisata, Curug Jompong merupakan situs geologis yang berumur 4 juta tahun yang dalam tingkatan geologi termasuk dalam usia pliosen. Bebatuan geologi di Curug Jompong adalah bebatuan terobosan (batu intrusif) sisa-sisa rangkaian gunung berapi. Yaitu batu jenis basalt, andesit, dan dasit. Terbentuknya batuan metamorf tersebut, terjadi oleh pertemuan batuan gamping dengan batuan terobosan (instrusif).

Lihat juga Wisata Caringin Tilu Bandung

Terdapat pula sejarah yang menyebutkan bahwa Curug Jompong merupakan lokasi jebolnya Situ Hiang pada 16.000 tahun yang lalu. Situ Hiang adalah sebuah danau zaman purba raksasa yang terbentuk selama proses ribuan tahun. Namun akhirnya dasar danau mengering seiring perkembangan kondisi bumi.

Konon, dasar danau tersebut yang kini menjadi tempat Kota Bandung berada. Tempat ribuan masyarakat menjalani kehidupan sebagai manusia hingga saat ini. Muncul pula istilah cekungan Bandung, yaitu sebuah mangkok raksasa yang dulunya merupakan danau Situ Hiang.

Curug Jompong Sekarang

Nama curug jompong diambil dari Bahasa Sunda yaitu curug yang artinya air terjun atau jeram. Sedangkan jompong berarti mojang atau remaja putri diartikan juga sebagai gadis perawan. Curug jompong memang dianggap warga setempat sebagai selaput dara Sungai Citarum. Karena ia menjadi penetrasi debit air yang berasal dari hulu. Karena merupakan mengalirkan air dari bagian hulu ke hilir, curug ini penuh dengan membawa air dengan segala limbah yang dialirkan pula dari hulu. Debit air ini sangat besar sehingga dituding sebagai penyebab banjir tahunan di Sungai Citarum. Tepatnya di bagian Bandung Selatan.

Curug yang memiliki potensi wisata dan sejarah geologi ini agaknya tidak lagi dipedulikan sebagai sesuatu yang harus dijaga kelestariannya. Pasalnya sudah sejak lama aliran air di curug Jompong telah penuh dengan sampah. Belum lagi limbah yang mewarnai aliran airnya. Warna-warni pewarna sintetis yang berasal dari pabrik tekstil pun menghiasi curug yang malang ini.

Pabrik-pabrik tekstil ini berdiri sejak tahun 1980-an. Banyak yang berada di kiri-kanan sungai Citarum dan membuang limbahnya langsung ke aliran sungai.

Selain limbah dari pabrik, warga setempat juga sudah menjadikannya septic tank komunal, dimana mereka memang mengalirkan paralon-paralon dari kamar mandi ke sungai. Ditambah dengan limbah kotoran dari ternak sapi yang juga dibuang ke sana. peternakan ini berada di Lembang dan Pengalengan.

Pembuatan terowongan Curug Jompong

Curug Jompong Bandung

Banjir memang sudah menjadi hal biasa yang terjadi di daerah Bandung. Setiap tahunnya pasti banjir melanda dan mengorbankan banyak sekali harta benda yang tidak terselamatkan. Curah hujan yang tinggi dengan hutan-hutan yang mulai berkurang. Lahan yang seharusnya menjadi hutan lindung dan resapan air kini terus mengalami erosi dan menyebabkan banjir yang melewati Curug Jompong.

Selain kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kian rusak, sampah-sampah juga disinyalir menjadi penyebab terjadinya banjir. Debit air raksasa yang melewati Curug Jompong sudah tidak dapat dimuat lagi oleh anak-anak sungai Citarum yang kian malang ekosistemnya. Lahan tutupan yang seharusnya menjadi daerah resapan air kini terus berkurang tanaman keras untuk menyerap air hujan. Sehingga air tidak dapat optimal diserap tanah dan langsung saja lari ke permukaan.

Akibatnya dengan debit yang melampaui kapasitas sungai, maka meluap air ke daratan yang merupakan tempat tinggal penduduk.

Pemerintah pernah melakukan pemangkasan sedalam 6 meter bebatuan di Curug Jompong, juga pembuatan aliran Citarum yang dibuat lurus dengan memotong meander aliran sungai berkelok. Setelah itu semua, pemerintah menggagas program baru untuk menjadikan solusi terjadinya banjir di Bandung dengan membuat terowongan dan mengalirkan air ke Danau Siguling. Pemerintah menganggap tindakan ini merupakan solusi yang dapat mengatasi banjir tahunan di Kabupaten Bandung bagian selatan.

Namun, apakah solusi ini merupakan solusi yang tepat untuk dapat menangani banjir tahunan di Sungai Citarum? Sedangkan debit air permukaan terus bertambah tanpa resapan air untuk diubah menjadi air tanah. Apakah permukaan tanah tetap siap dan mampu menampung aliran air? Sedangkan air terus menggerus tanah dan menyebabkan banjir setiap tahunnya.

Lihat juga Wisata Perkebunan Teh Malabar

Lantas apakah solusi yang tepat untuk menyelamatkan wisata Curug Jompong yang populer di zaman kolonial Hindia Belanda silam? Semoga pemerintah tidak salah mengambil langkah dan malah membikin makin parah rusaknya ekosistem sungai di Bandung ini.

5/5 - (1 vote)
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *